Tahun 2002, Ada Apa Dengan Cinta menjadi salah satu pelopor tren kebangkitan film nasional, khususnya genre drama romansa (remaja), dengan raihan penonton lebih dari 2 juta orang. Kesuksesan AADC terletak pada kisah keseharian seperti drama persahabatan dan asmara remaja tanpa perlu bersusah payah terlihat keren. Pemilihan para pemain yang tepat serta skenario berbalut puisi yang sudah lama tak digemari remaja menjadi sesuatu menyegarkan pada saat itu. Tidak heran Ada Apa Dengan Cinta menjadi salah satu dari sedikit film epik yang dapat menjadi “penanda” pada jamannya.
Harapan publik akan kelanjutan kisah Cinta dan Rangga berbuah manis. Dian Sastrowardoyo berkali-kali mengungkapkan antusiasmenya di media sosial mulai sejak membaca pertama kali skenario yang disodorkan kepadanya. Kelanjutan cerita Cinta dan Rangga sempat ditampilkan sekilas melalui salah satu media chat online. Sarana promosi yang cerdas, untuk kemudian dilanjutkan menjadi film utuh sebagai sekuelnya.
Layaknya sebuah film reuni, maka Mira dan Prima memutar otak bagaimana membuat sinkronisasi para tokoh yang telah tumbuh dewasa dan terpisah satu dengan yang lain. Untuk mendapat interaksi antar tokoh yang intens, dibawalah Cinta dan geng-nya dari hiruk pikuk ibukota ke kota lain yang menyimpan sejuta eksotisme, Yogyakarta. Dengan argumen bahwa mereka berlibur, pemilihan kota lain sebagai setting sungguh sangat sah dan mendukung alur cerita. Di Yogyakarta, hubungan antar Geng Cinta secara lebih karib dapat dibangun sebagai pondasi cerita yang kokoh pada bagian awal film.
Banyak kisah yang belum diungkap antara Rangga dan Cinta. Mira dan Prima mengemasnya menjadi suatu dialog perjalanan yang kian mendekatkan mereka selama sehari semalam. Permintaan maaf, ungkapan kekesalan, celotehan cerita dan bertukar kabar mengenai banyak hal menjadi topik bahasan yang tidak membosankan untuk ditonton. Tengok ekspresi silih berganti Dian Sastro dan tatapan Nicholas Saputra yang menyiratkan kedalaman, tanpa harus banyak berucap.
Meski begitu, Ada Apa Dengan Cinta 2 masih menyimpan beberapa ganjalan penting. Di jaman yang sudah dengan mudah terhubung via media sosial, tampaknya beberapa pesan yang sebenarnya bisa jauh lebih mudah disampaikan melalui aplikasi, rupanya harus dikomunikasikan bertatap muka langsung kepada si penerima berita. Tengok bagaimana salah satu anggota keluarga harus jauh-jauh pergi ke New York “hanya” untuk menyampaikan kabar kepada Rangga. Apa tidak bisa melalui aplikasi chat atau media sosial? Apakah jarak Yogyakarta-Jakarta-New York (dan sebaliknya) semudah naik ojek berbayar ke tempat tujuan?
Tidak hanya Rangga yang harus berdamai dengan masa lalunya, Cinta pun juga dihadapkan untuk bisa berdamai dengan Rangga yang telah men”jahat”inya (sesuai dialog mengena di trailer Ada Apa Dengan Cinta 2). Opsi yang sungguh tidak mudah dan tidak instant. Perbaikan hubungan Cinta dan Rangga selama hampir 24 jam menunjukkan tidak mudahnya proses berdamai itu sendiri.
Yang juga patut mendapat pujian ialah penempatan produk iklan yang sangat halus selama durasi 124 menit bergulir. Dari produk kecantikan, air mineral, es krim hingga maskapai penerbangan disisipkan dengan halus tanpa terasa dipaksakan. Bandingkan dengan film Indonesia akhir-akhir ini yang sibuk narsis menjadi etalase produk sponsor di banyak adegan tidak perlu.
Dengan raihan 200.000 penonton di hari pertama peredarannya, Ada Apa Dengan Cinta 2 menjadi kandidat kuat Film Terlaris 2016. Hitsmaker Riri dan Mira kian menguatkan posisinya di peta perfilman nasional yang dapat menyeimbangkan antara kualitas dan sisi komersil. Bravo!
Text by Pikukuh
Photo by [at]milesfilm