Berbarengan dengan bangkitnya film karya DC lewat Wonder Woman untuk menandingi semesta Marvel yang telah kokoh, Universal Studio tak mau ketinggalan. Cara ampuh mengambil untung menahun memang perlu strategi jitu: membentuk semesta berkelanjutan. Dengan tajuk Dark Universe, dunia berkumpulnya para makhluk legenda dan monster (seperti Dr Jekyll and Mr Hyde, Frankenstein, The Invisible Man), Universal memulainya dengan remake The Mummy.
Versi awal The Mummy dimulai tahun 1932, kemudian melejit di tahun 1999 berkat tangan dingin Stephen Sommers. Trilogi yang menampilkan Brendan Fraser ini dinilai produser masih dapat dikembangkan (baca: dijadikan “sapi perahan”) lebih optimal lagi. Maka diputuskankah The Mummy layak menjadi film pembuka dari semesta yang coba dibangun Universal.
Arkeolog yang ikut menjelajah, Jenny Halsey (Annabelle Wallis) menemukan fakta situs bersejarah yang mereka hadapi bukanlah kuburan, tapi penjara. Hasil penemuan ini pun dibawa untuk diteliti. Setelah itu, hal-hal buruk terjadi, mulai serangan kawanan burung ke pesawat yang mereka tumpangi, sampai kutukan yang menimpa Morton.
Setelah hadirnya Ahmanet di era sekarang, dunia menjadi kacau balau. Kini sepenuhnya keselamatan umat tergantung pada Morton yang memiliki karakter easy going ini. Sub konflik sempat muncul ketika Dr Jeckyll (Russel Crowe) menangkap Ahmanet dan memiliki misi tersendiri.
Alur mencegah kekacauan dunia di tangan Tom Cruise tampaknya sudah sering ditampilkan di banyak film. Jika franchise Mission Impossible masih menghadirkan greget aksi dan kelincahan alur yang dinamis, maka kedua hal tersebut absen di film karya Alex Kurtzman ini. Nyaris tak ada nilai tambah yang menggugah.
Berbeda dengan chemistry Brendan Fraser-Rachel Weisz yang mampu membuat penonton harap-harap cemas, para tokoh di film ini sangat 2 dimensi dan “berjarak” dengan penonton. Keterlibatan emosi tak dihadirkan dari menit pertama hingga akhir film. Hal ini diperparah dengan ketegangan yang mudah ditebak dan dialog yang “kosong”.