Oma Agatha (Niniek L. Karim) menjadi penyeimbang sekaligus jembatan dalam keluarga Tirtoatmojo. Oma menjadi tempat bersandar sang cucu, Kiara (Aurora Ribero), di saat sang ibu (sekaligus orangtua tunggal) Ellen (Adinia Wirasti) sibuk mengejar karir. Terlebih Ellen sedang bersiap membuka kantor pengacara baru bersama Iman (Ernest Prakasa).
Isu besar muncul ketika Oma mendadak tutup usia. Hubungan berjarak Ellen-Kiara mau tidak mau, suka tidak suka, harus mulai dihadapi. Strategi liburan bersama pun coba diambil untuk mengurai masalah. Perbedaan karakter hingga jurang generasi menimbulkan percikan konflik dari hal sederhana, hingga memuncak di babak ketiga.
Sayang, tak sedikit yang lelucon yang dragging, lalu berujung hit & miss, tak bernyawa (terutama tokoh Ge Pamungkas). Untungnya masih tertolong berkat akting paripurna Adinia Wirasti yang terlihat menelan habis karakter Ellen. Di tangan Adinia, tokoh Ellen tampak tangguh namun rapuh (baca: takut) ketika berhadapan dengan darah dagingnya sendiri.
Elemen drama yang dipanggul Adinia Wirasti menjadi pondasi yang solid berkat skenario tulisan pemenang Citra, Ernest Prakasa yang berkolaborasi dengan istrinya, Meira. Beberapa dialog ketika adegan drama tak diduga justru lebih mengesankan dibandingkan sekuens komedi yang terlihat terseret-seret.
Ernest Prakasa terbukti konsisten menekuni bidangnya dengan berupaya membagi porsi drama & komedi dalam setiap karyanya (plus OST yang terdengar manis). Sebuah kisah kuat butuh alur drama yang relevan, menghangatkan hati, dan mampu terhubung dengan para penonton. Dalam hal ini, Ernest & Meira telah berhasil, walaupun masih banyak PR dari sisi komedi yang perlu dirombak.