Seolah begitu berat beban yang disandang film berdurasi 141 menit ini. Dalam semesta DC yang terbaru, Wonder Woman menjadi film keempat setelah Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dan Suicide Squad (2016) berurutan. Meski terbilang sukses secara komersil, ketiga judul tersebut mendapat tak sedikit caci kritikus. Bukan film yang buruk memang, tapi masih jauh tertinggal dari mahakarya trilogi Batman karya Nolan atau standar superhero dari kreator pesaing, Marvel Studio.
Kesempatan menyelamatkan muka DC kini berada di pundak Patty Jenkins. Sutradara yang pernah mengantarkan Charlize Theron meraih Oscar di Monsters ini kebagian tugas mengarahkan film budget besar pertamanya.
Tugas yang tak sederhana mengingat banyak pertaruhan yang dipasang. Selain estimasi budget US$ 149 juta dan citra DC yang belum pulih, Jenkins juga menjadi sutradara wanita yang mengomandoi penuturan kisah perdana superhero wanita. Elektra dan Catwoman (yang digarap sutradara pria) jeblok secara kualitas dan kuantitas penjualan tiket. Penjabaran dan kejelian Jenkins pun diuji.
Kehidupan Diana berubah setelah ada pesawat jatuh tak sengaja di perairan kepulauan mereka. Pilotnya Steve Trevor (Chris Pine) mengemban misi berbahaya sebagai mata-mata, menyamar jadi tentara Jerman. Di bawah komando Ludendorff (Danny Huston), Jerman sedang menyiapkan senjata biologis mematikan bersama ahli kimia Isabel Maru (Elena Anaya).
Dengan plot yang berurutan sekaligus sederhana, Wonder Woman hadir apa adanya, gamblang namun tetap membumi. Skenario yang kokoh melandasi motif Diana mengapa bersedia total membantu umat manusia. Narasi Diana tentang cinta, motifnya berada di tengah-tengah ironisnya justru sangat sesuai dan dibutuhkan di dunia masa kini yang penuh kuasa gelap dan radikalisme. Sungguh sangat jarang film superhero mengungkap motif yang demikian mulia sekaligus sesuai dengan keadaan saat ini!
Peran pendukung pun berperan sesuai porsinya dengan solid. Penampilan singkat Robin Wright sebagai sosok tangguh sekaligus mengayomi bagi tokoh Diana menjadi penguat yang mengesankan. Pun dengan David Thewlis (sebelumnya lebih dikenal sebagai Remus Lupin di franchise Harry Potter) yang berperan tak biasa.
DC Comics telah menemukan momentumnya lewat film yang dirilis di Indonesia lebih cepat 2 hari dibanding di negara asalnya. Sebagai sebuah film perdana yang mengisahkan asal muasal superhero, Wonder Woman telah menyampaikan pesannya dengan nilai di atas rata-rata.
Lewat Wonder Woman, Jenkins telah membuktikan sebagai salah satu dari jarangnya sutradara wanita yang mampu menggarap film blockbuster dengan sukses. Didukung oleh plot rapi, skenario kokoh dan jajaran aktor berperforma ciamik, Wonder Woman hadir menjawab banyak pertaruhan besar DC Comics sebagai sebuah hiburan yang sayang untuk dilewatkan. Tangguh dan mengesankan!